Tarif PBB Pekanbaru Meroket Hingga 300% : Solusi Anggaran atau beban bagi rakyat?

 Pengkaji:

  • Meizy Pricillia 
  • Naila Septa Ridhoni
  • Nasywa Enggar Kesuma
  • Yemima Elia Priskila 
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah salah satu jenis pajak yang dikenakan atas kepemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah serta bangunan. Pajak ini dipungut setiap tahun dan hasilnya digunakan untuk membiayai pembangunan serta pelayanan publik di tingkat daerah. Sejak diberlakukannya kebijakan desentralisasi fiskal, pengelolaan PBB Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, sehingga penerimaan pajak ini menjadi salah satu sumber penting Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Dalam beberapa waktu terakhir, masyarakat di berbagai daerah di Indonesia dikejutkan oleh lonjakan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang biasanya hanya menjadi bagian dari rutinitas tahunan, tahun ini justru menjadi sumber keresahan baru. Nilai tagihan yang naik dua hingga tiga kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya membuat banyak warga tidak siap secara finansial.

Menurut data yang disampaikan oleh Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, terdapat 104 pemerintah daerah yang telah menaikkan tarif PBB-P2. Bahkan, 20 di antaranya mencatatkan kenaikan lebih dari 100%, dan salah satu yang paling ekstrem terjadi di Kota Parepare, dengan lonjakan hingga 800 %. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan publik yaitu mengapa begitu banyak daerah menaikkan tarif PBB secara bersamaan?

Salah satu jawabannya terletak pada kondisi fiskal nasional. Pemerintah pusat berencana memangkas alokasi Transfer ke Daerah (TKD) dalam RAPBN 2026 dari Rp848 triliun menjadi Rp 650 triliun, atau turun sebesar 23,35%. Meski Mentri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa belanja pusat di daerah tetap besar, banyak kalangan melihat ini sebagai sinyal penyempitan ruang fiskal daerah. Menurut Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Celios, kebijakan ini bertentangan dengan semangat desentralisasi fiskal dan mendorong daerah untuk mencari solusi cepat, salah satunya melalui kenaikan PBB .

Respon Publik dan Dampak Nasional Kenaikan Tarif PBB
kebijakan kenaikan tarif PBB yang dilakukan secara mendadak dan minim komunikasi publik memunculkan gelombang protes di berbagai daerah. Di Kabupaten Pati, warga mengeluhkan lonjakan tagihan tanpa sosialisasi sebelumnya. Protes serupa juga muncul di Jombang, Cirebon, Semarang, hingga Kabupaten Bone. Kasus Parepare dengan kenaikan hingga 800 persen bahkan menjadi sorotan nasional karena dianggap tidak proporsional.

Menurut Prof. Dr. Eko Prasojo, Guru Besar Ilmu Administrasi Negara Universitas Indonesia, langkah ini sebenarnya dapat dimengerti jika dilihat dari sisi tekanan fiskal yang dihadapi daerah. Berkurangnya dana transfer dari pusat dan terbatasnya sumber PAD membuat pemerintah daerah menjadikan PBB sebagai solusi cepat. Apalagi, setelah diberlakukannya UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD), kepala daerah memiliki kewenangan lebih luas dalam menetapkan tarif pajak lokal.

Namun, persoalan muncul karena minimnya sosialisasi, kurangnya transparansi, dan tidak adanya pelibatan publik dalam pengambilan keputusan. Masyarakat merasa dibebani tanpa diberi ruang untuk menyampaikan pendapat. Kondisi ini menimbulkan krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan memicu ketegangan sosial. Alih-alih memperkuat PAD secara bijak, kebijakan ini justru menambah beban ekonomi warga dan memperlebar jarak antara pemerintah dengan masyarakat.

Lonjakan Tarif PBB di pekanbaru Hingga 300% !
Kebijakan Pemerintah Kota Pekanbaru yang menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 300 persen sejak 1 Januari 2024 menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024, tarif PBB yang semula 0,1 persen dinaikkan menjadi 0,3 persen dan diberlakukan secara flat untuk semua objek pajak, tanpa mempertimbangkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Untuk lebih jelas, berikut adalah contoh perbandingan sebelum dan sesudah kenaikan tarif PBB di Pekanbaru:

1. PBB Sebelum (0,1-0,2%)
  • Rumah sederhana (NJOP Rp300 juta) Rp300 ribu
  • Rumah menengah (NJOP Rp1 miliar) Rp1 juta - Rp2 juta
  • Rumah mewah (NJOP Rp5 miliar) Rp10 juta. 
2. PBB Sesudah (0,3%)
  • Rumah sederhana (NJOP Rp300 juta) Rp900 ribu
  • Rumah menengah (NJOP Rp1 miliar) Rp3 juta
  • Rumah mewah (NJOP Rp5 miliar)   Rp15 juta
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Pekanbaru. Pemerintah Kabupaten Pati, Jawa Tengah, misalnya, juga memberlakukan kenaikan PBB hingga 250 % dan memicu gelombang protes. Bahkan di Kota Cirebon, Jawa Barat, lonjakan PBB mencapai 1.000 % dan menimbulkan penolakan keras dari masyarakat. Pola serupa ini menunjukkan bahwa banyak pemerintah daerah menjadikan kenaikan tarif PBB sebagai cara instan untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Menurut pengamat sosial ekonomi Riau, Peri Akri, SE, MM, kebijakan tersebut memperlihatkan rendahnya kepekaan pemerintah terhadap kondisi ekonomi masyarakat. Di tengah situasi yang masih sulit, kenaikan tarif PBB justru menambah beban rakyat. “Kebijakan itu jelas kurang tepat. Ada kesan pemerintah mencari jalan pintas untuk menggenjot PAD, tapi mengabaikan dampak sosial yang ditimbulkan,” ujarnya (15 Agustus 2025).

Lebih jauh, Peri menilai pola kebijakan semacam ini dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah. Alih-alih mengandalkan pajak, pemerintah seharusnya mengoptimalkan potensi lain, seperti pembenahan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau sektor produktif. Evaluasi kebijakan pun perlu dilakukan secara terbuka dan transparan agar masyarakat bisa menilai langsung efektivitasnya sekaligus memastikan tidak ada penyalahgunaan.

Menanggapi kritik tersebut, Wali Kota Pekanbaru Agung Nugroho menyatakan akan mengusulkan revisi Perda PBB kepada DPRD dengan kajian yang lebih komprehensif. Ia menekankan, tarif yang terlalu tinggi justru menurunkan kepatuhan warga. Untuk sementara, Pemko juga memberikan keringanan berupa diskon hingga 70% bagi kelompok wajib pajak tertentu sembari menunggu hasil evaluasi lebih lanjut.

Kasus Pekanbaru menjadi contoh nyata bahwa kebijakan fiskal daerah bisa menimbulkan gejolak sosial jika tidak dirancang dengan cermat. Pada prinsipnya, setiap kebijakan fiskal tidak hanya berorientasi pada peningkatan PAD, melainkan juga harus memperhatikan keadilan sosial dan kemampuan ekonomi masyarakat.

Suara Warga dan Sorotan LSM: PBB Jadi Beban Berat
Viral nya kasus kenaikan PBB di Pati ikut menyeret perhatian publik di Pekanbaru. LSM Benang Merah Keadilan mengaku menerima banyak laporan warga yang kesulitan melunasi PBB setelah tarif melonjak hingga 300 persen.

Salah satu kasus terjadi pada Mei 2025. Seorang warga yang hendak membayar PBB rumah peninggalan keluarganya untuk periode 2023–2024 terkejut saat menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Nilainya melonjak dari Rp979.576 pada 2023 menjadi Rp2.938.728 pada 2024 naik hampir tiga kali lipat. Karena tidak sanggup membayar, hingga kini tagihan tersebut masih menunggak. Ironisnya, setiap kali ia menanyakan alasan kenaikan kepada Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Pekanbaru, jawaban yang diterima tidak memadai.

Ketua LSM Benang Merah Keadilan, Idris, menyebut lonjakan ini sebagai konsekuensi langsung dari Perda Nomor 1 Tahun 2024 yang menggantikan Perda lama Nomor 8 Tahun 2011. Dalam aturan baru, tarif PBB-P2 ditetapkan flat 0,3 persen, berbeda dari aturan lama yang membedakan tarif berdasarkan NJOP 0,1 persen untuk NJOP di bawah Rp1 miliar dan 0,2 persen untuk di atas Rp1 miliar.

“Pasal baru dalam Perda ini ibarat pasal sapu jagat”. Besar kecilnya NJOP, semuanya dikenakan tarif 0,3 persen. Mulai dari rumah sederhana di pinggiran kota hingga rumah mewah di pusat kota, kenaikannya sama,” ujarnya.

Idris juga menyoroti lemahnya sosialisasi. Pemerintah cenderung memakai istilah penyesuaian tarif dalam publikasi resmi, tanpa secara gamblang menyebutkan kenaikan hingga 300 %. Akibatnya, banyak warga baru sadar setelah menerima SPPT.

Selain itu, LSM tersebut mengingatkan adanya potensi penyalahgunaan kewenangan dalam pengurangan atau pembetulan PBB-P2. Berdasarkan temuan mereka, kebijakan pembetulan yang seharusnya diatur ketat justru sering dijadikan celah oleh oknum untuk melakukan manipulasi.


Kesimpulan 

Kebijakan kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota Pekanbaru hingga 300 % melalui Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 menimbulkan polemik yang cukup luas. Meski dapat dipahami sebagai respons atas berkurangnya dana transfer pusat serta kebutuhan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), implementasi kebijakan ini dinilai kurang tepat. Penerapan tarif flat sebesar 0,3 % tanpa mempertimbangkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) menimbulkan ketidakadilan, karena membebani masyarakat menengah ke bawah dengan proporsi yang sama seperti wajib pajak dengan aset bernilai tinggi.

Minimnya sosialisasi serta penggunaan istilah yang tidak lugas dalam publikasi resmi turut memperburuk persepsi publik. Hal ini menyebabkan sebagian besar masyarakat baru menyadari adanya lonjakan signifikan ketika menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Kondisi tersebut memperlihatkan lemahnya aspek transparansi dan partisipasi dalam perumusan kebijakan publik.

Dengan mempertimbangkan berbagai kritik dari akademisi, pengamat, maupun lembaga swadaya masyarakat, dapat disimpulkan bahwa kenaikan tarif PBB di Pekanbaru lebih banyak dipandang sebagai beban tambahan masyarakat daripada solusi fiskal jangka panjang. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi menyeluruh dengan pendekatan yang lebih adil, transparan, serta berorientasi pada keberlanjutan. Pemerintah daerah sebaiknya tidak hanya mengandalkan kenaikan pajak sebagai instrumen fiskal, tetapi juga mengoptimalkan potensi lain, seperti pembenahan kinerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan penguatan sektor produktif, agar kebijakan fiskal benar-benar mendukung pembangunan yang inklusif dan berkeadilan.

DAFTAR PUSTAKA

halloriau. (2025, Agustus 22). Kenaikan PBB di Pekanbaru Capai 300 Persen, DPRD Dorong Revisi Perda. Retrieved from halloriau.com: https://halloriau.com/read-dprd-pekanbaru-14610130-2025-08-16-kenaikan-pbb-di-pekanbaru-capai-300-persen-dprd-dorong-revisi-perda.html

Mukthar. (2025, Agustus 14). Retrieved from beritariau.com: https://www.beritariau.com/berita-43299-warga-pekanbaru-pajak-pbb-ternyata-sudah-naik-300-kalahkan-pati.html

Nadeak, F. F. (2025). Retrieved from cnnindonesia.com: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250814062819-532-1262235/mengapa-tiba-tiba-banyak-pemda-menaikkan-pbb-gila-gilaan-seperti-pati

Pakpahan, R. (2025). Tarif PBB-P2 Naik Lebih 100% di 20 Daerah, Mendagri Terbitkan SE Evaluasi. Retrieved from https://monitorindonesia.com/: https://monitorindonesia.com/ekonomi/read/2025/08/612733/tarif-pbb-p-2-naik-lebih-100-di-20-daerah-mendagri-terbitkan-se-evaluasi

Sofyan, S. (2025, Agustus 15). Retrieved from GoRiau.com: https://www.goriau.com/berita/baca/pbb-kota-pekanbaru-meroket-hingga-300-persen-pengamat-terkesan-jalan-pintas-genjot-pad-tapi-jadi-beban-bagi-masyarakat-untuk-apa.html

Wijokongko. (2025, Agustus 19). Tarif PBB Naik, Bikin Warga Kian Tercekik. Retrieved from metrotvnew: https://www.metrotvnews.com/play/NrWCoW1E-tarif-pbb-naik-bikin-warga-kian-tercekik

Komentar